Asal Usul Danau Laut Tador Di Kabupaten Batu Bara Sumatera Utara
Salah satu keindahan nyata dari Sumatera Utara adalah keberadaan Danau Toba, danau terluas dan tercantik di Indonesia. Danau yang konon terbentuk dari letusan Gunung Toba pada zaman purba itu sudah menjadi ikon dari pariwisata Sumatera Utara. Namun Sumatera Utara juga bukan hanya tentang Danau Toba, karena masih ada beberapa danau lainnya yang tentu keindahannya tak kalah. Salah satu danau di Sumatera Utara yang bisa menjadi objek wisata potensial adalah Danau Laut Tador.
Dikutip dari buku Danau Laut Tador (2016) yang ditulis oleh Agus Mulia, melalui laman Kemdikbud, berikut adalah cerita asal-usul Danau Laut Tador
Asal-usul Danau Laut Tador
Alkisah pada zaman dahulu kala hiduplah sepasang suami istri petani di sebuah kampung. Mereka dikaruniai seorang anak lelaki bernama Tador yang menggemaskan.
Karena orang tua Tador harus pergi berladang, maka ia diasuh bergantian oleh kakek, dan neneknya.
Namun suatu hari, sang Kakek meninggal secara mendadak tanpa lebih dulu jatuh sakit. Hal ini membuat ayah, ibu, dan nenek Tador jatuh dalam kesedihan.
Terutama nenek Tador yang begitu sedih, hingga tingkah lucu sang cucu pun tak bisa mengobat kesedihannya.
Kesedihan yang berlarut-larut membuat sang nenek terlihat semakin lemah, dan tak lama pun menyusul sang suami.
Sang nenek meninggal di pembaringan ketika tertidur, yang membuat ayah dan ibu Tador kembali berduka.
Selepas kepergian kakek dan nenek, ibu dan ayah Tador harus berbagi tugas. Ibu mengurus rumah dan menjaga Tador, sementara ayah bekerja di ladang.
Meski berjalan dengan baik, hasil panen yang biasanya melimpah menjadi berkurang. Hal ini membuat orang tua Tador agak gelisah.
Beruntung ada tetangga yang tidak memilki anak menawarkan bantuan untuk mengasuh Tador selama orang tuanya pergi berladang.
Sampai akhirnya di usia sepuluh, sang tetangga yang merawatnya pindah dari kampung dan Tador harus sendirian di rumah sepanjang hari.
Orang tuanya enggan mengajaknya berladang karena jaraknya jauh, dan Tador dianggap masih terlalu kecil.
Meski kecewa, Tador menurut dan mengisi hari-harinya dengan bermain bersama kawan-kawannya.
Tador belajar berbagai hal baru ketika bermain di sekitar kampungnya. Karena Tador tekun, ia menjadi mahir berenang, memanjat pohon, dan memancing ikan.
Namun semua keahlian itu Tador sembunyikan dari orang tuanya, dan akan ia ceritakan jika sudah cukup besar.
Halini karena orang tua Tador melarangnya melakukan hal berbahaya, tentunya demi kebaikan anak semata wayangnya.
Setelah dianggapnya cukup dewasa, di usia dua belas Tador menceritakan kemampuannya kepada ayah dan ibu.
Namun harapan tinggal harapan, orang tua Tador justru marah karena ia tidak pernah bercerita dan menuduhnya berbohong.
Pun Tador pun masih tidak diizinkan membantu ayah dan ibunya di ladang karena masih dianggap anak kecil.
Tador pun harus kembali menelan kecewanya dalam-dalam, dan kembali ditinggal sendiri di rumah sementara ayah ibunya pergi berladang.
Tak berapa lama, jelang bulan Ramadhan kampung Tador akan mengadakan marpangir yatu mandi beramai-ramai dengan ramuan bunga dan rempah dan dilanjutkan makan bersama.
Keluarga Tador berencana akan ikut memasak gulai ayam dan sayur pepaya untuk dimakan bersama-sama warga di pinggir sungai.
Tador sangat antusias karena ini marpangir pertamanya, setelah tahun-tahun sebelumnya ia tidak diperbolehkan ikut seperti anak-anak lain di kampungnya.
Dengan gmbira Tador membantu ayah ibunya bersiap, namun malang di hari yang ditentukan Tador malah jatuh sakit dan badannya panas.
Ia hanya bisa berbaring, namun dalam hatinya ia ingin sekali berangkat mengikuti marpangir. Saat Tador mencoba bangun, tubuhnya tidak kuasa dan malah semakin lemas.
Ayah dan ibunya kebingungan, sementara hari beranjak siang dan nasi serta lauk telah selesai disiapkan.
Akhirnya dengan berat hati ayah dan ibu mengatakan akan tetap pergi marpangir tanpa mengajak Tador.
Mereka berpikir bahwa Tador sudah terbiasa ditinggal sendiri di rumah, sehingga tidak apa-apa meninggalkannya sendirian.
Mengetahui hal itu, Tador sangat sedih dan kecewa, ia sangat ingin pergi marpangir seperti anak-anak seumurannya.
Tador pun menangis meraung-raung mengetahui orang tuanya hendak berangkat tanpa dirinya.
Sang ibu yang tidak tega membujuk sang ayah untuk membawa Tador ikut serta dengan menggendongnya. Namun sang ayah menolak karena khawatir sakit Tador akan semakin parah.
Pada akhirnya mereka pun berselisih, dan suara perdebatan orang tuanya membuat tangisan tador semakin keras.
Bujuk rayu kedua orang tuanya tak bisa membuat Tador berhenti menangis. Hingga akhirnya sang ibu marah.
Ibu Tador bergegas mengajak sang ayah untuk segera berangkat marpangir dan meninggalkn Tador di rumah yang terkunci.
Tador masih meraung-raung di pembaringannya, sementara badannya terlalu lemas untuk bergerak.
Tak ada seorangpun yang mendengar raungan dan tangisannya, karena ternyata seluruh kampung telah berangkat ke tempat marpangir.
Akhirnya tenaganya habis, hanya air mata Tador saja yang terus mengalir membasahi baju dan dipan tempat pembaringannya.
Tador tak kuasa membendung air matanya, sementara badannya terasa semakin lemah. Kesdihan yang mendalam membuat air matanya tak bisa berhenti mengalir.
Di lain tempat, orang tua Tador dan warga kampung bersuka ria di tempat marpangir. Rasa suka cita membuat mereka tak merasakan bergulirnya waktu, hingga senja terlihat.
Mereka kemudian pulang beramai-ramai dengan rasa suka cita berniat akan menyambut bulan puasa.
Namun sampai di pintu gerbang kampung mereka terlonjak kaget karena melihat kampung mereka terendam air. Bahkan rumah-rumah dan ternak turut tenggelam hingga tak ada lagi yang tersisa.
Ayah dan ibu Tador panik karena tidak dapat menemukan anak semata wayangnya. Air mata Tador telah menenggelamkan kampungnya, namun jasadnya telah hilang entah kemana.
Air bah itu terus meninggi dan warga berteriak melihat kampung mereka tergenang tanpa ada hujan atau badai.
“Laut! Laut!”, teriak mereka memberi peringatan karena kampung yang luas mereka sudah dipenuhi air bak lautan.
Sementara ayah dan ibu Tador tak menyerah memanggil-manggil nama sang anak dengan putus asa dan dipenuhi rasa bersalah
“Tador! Tador!” seru mereka berharap sang anak akan menjawab.
Seruan yang bersahut-sahutan ini yang menjadikan wilayah kampung yang tergenang konon menjadi tempat yang sekarang bernama Danau Laut Tador.
Cerita rakyat ini kemudian menjadi pengingat bahwa anak adalah titipan Tuhan yang tidak boleh disia-siakan oleh orang tua.
Sumber: http://repositori.kemdikbud.go.id/4169/
Komentar
Posting Komentar