Legenda Batu Menangis, Kisah Gadis Cantik Yang Dikutuk Jadi Batu
Dahulu orang tua sering kali membacakan cerita sebelum anak-anaknya tidur, baik itu dongeng. Sampai hari ini pun kebiasaan ini turun temurun masih ada dijumpai orang tua yang berkisah sebelum anak-anaknya tidur.
Kali ini kita akan membahas kisah cerita rakyat yang sangat familiar bahkan hingga kini tak lekang oleh waktu. Siapa yang tak kenal Legenda Batu Menangis?
Dahulu kala, di sebuah bukit yang jauh dari desa, di daerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya. Janda itu bernama Mak Dasah dan anak gadisnya bernama Jelita. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil sederhana. Rumah itu adalah peninggalan suami Mak Dasah yang meninggal dunia sejak Jelita berumur satu tahun.
Ia disebut jelita karena memang wajahnya cantik sekali. Jelita menjadi anak kesayangan ibunya. Demi cinta kasihnya pada sang anak Mak Dasah walau sudah agak tua tapi rela bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pekerjaan Mak Dasah mencari kayu bakar di hutan kemudian dijual ke perkampungan. ia juga merawat belasan pohon pisang bekas peninggalan suaminya. Namun pohon pisang itu tidak berbuah setiap saat. Jika pohon pisang berbuah ia akan menjualnya ke perkampungan penduduk yang jaraknya puluhan kilo meter dari tempat tinggalnya.
Semakin hari Si Jelita semakin bertambah dewasa. Sementara si janda bertambah tua. Tapi sayang sekali …… si Jelita yang sangat dikasihi oleh ibunya itu berkelakuan buruk. Pohon pisang yang jumlahnya enam belas batang tak pernah ditengoknya.
Angin yang membawa debu dan daun-daun kering ke dalam rumahnya ia biarkan saja Jangankan halaman rumah, dinding dan lantai kamarnya sendiri ia tak mau membersihkannya. Ia selalu menunggu ibunya turun tangan. Gadis itu memang amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.
Pada suatu hari Jelita berkata kepada ibunya.
“Mak hari ini engkau harus belikan aku baju yang baru dan indah.”
“Lho? Bajumu kan Sudah banyak, masih banyak yang baru juga?”
“Alaaaah, jangan banyak cakap, bajuku memang banyak tapi sudah ketinggalan jaman, aku ingin model yang baru!”
“Tapi nak, ibu tidak punya uang yang cukup untuk membelikan mu baju baru lagi. Bukankah sebulan yang lalu sudah ku belikan baju yang cukup mahal?”
“Kalau Mak sayang turuti kemauanku…!”
Tak bisa tidak Mak Dasah akhirnya mengambil semua simpanan Uangnya dan esok harinya mereka berangkat ke pasar yang jaraknya sangat jauh dari rumah mereka. Sebenarnya uang simpanan itu digunakan untuk keperluan-keperluan yang mendesak, seperti ketika Jelita sakit dan lain-lain.
Letak pasar desa amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus, dan bersolek agar orang di jalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan di belakang sambil membawa keranjang dengan pakaian yang sangat dekil. Karena mereka hidup di tempat yang terpencil tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu Namun ketika melihat orang yang berjalan di belakang anak gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya tanya.
Aneh sekali ….. si gadis wajah sangat cantik, dan pakaiannya luar biasa indahnya, tapi wanita di belakangnya berpakaian kumal dan bertambal- tambalan.
“Iya, mengapa wanita itu berjalan di belakang si gadis? Padahal wajahnya mirip sekali dengan si gadis, tidak mungkin wanita tua itu pembantunya …… ”
“Kawan…jangan berburuk sangka, siapa tahu wanita itu memang pembantu yang mengawal si gadis.”
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu. “Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan di belakang itu ibumu ?”
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
“Bukan,” katanya dengan angkuh. “Ia adalah pembantuku !”
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekat lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
“Hai, gadis manis, siapa namamu?”
“Oh, abang.. .namu Jelita…
“Hem, cocok benar dengan orangnya.”
“Kenapa bang?”
“Wajahmu juga cantik jelita…!”
“Apakah yang berjalan di belakangmu itu ibumu ?”
“Bukan, bukan,””jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. “Ia adalah budak ku !”
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang di sepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu.la malu mengakui Mak Dasah sebagai ibunya.
Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Ketika berjalan di tempat yang sepi Mak Dasah bertanya kepada anaknya.
“Anakku mengapa kau menyebutku sebagai pembantu mu?”
“Ibu….! Tenang saja, ini hanya sekedar berpura-pura, aku tidak bersungguh menganggap ibu sebagai pembantuku. ”
“Tapi sudah tiga kali ini kau menyebutku sebagai budak, aku tak ingin kau melakukannya lagi.”
“Ah, Emak ….. ini kan hanya pura-pura!”
Mereka meneruskan perjalanan. Hingga suatu ketika ada seorang muda yang sangat tampan datang mendekati si Jelita.
“Hai, cantik, siapa namamu?”
“Namaku Jelita….!”
“Serasi benar nama dan wajahmu, cantik jelita…!”
“Apakah yang berjalan di belakangmu itu ibumu ?”
“Bukan, bukan,” jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. “Ia adalah budak ku !”
Mak Dasah masih bisa menahan diri. Ia mencoba memperingatkan anaknya lagi. Namun tak berapa lama kemudian mereka bertemu lagi dengan seorang pemuda tampan. Jelita kembali menyebut ibunya sebagai pembantunya. Sesungguhnya ia malu mengakui Mak Dasah sebagai ibunya. Kini sang ibu tak bisa bersabar lagi.
“Jelita anakku, kau sungguh kelewat batas, kau durhaka berkali-kali menyebutku sebagai budak mu. Padahal aku yang merawat dan membesarkan mu sejak kecil. Teganya kau berbuat seperti itu!”
“Emak….kenapa Emak marah….percayalah ini hanya sekedar sandiwara. Nanti setelah pulang dari pasar Emak beli baju yang baru dan indah. Jika bertemu dengan pemuda tampan maka aku akan mengakui Emak sebagai ibuku.”
“Tidak kau terlalu menyakitkan hatiku, bagaimanapun keadaan Emak seharusnya kau mau mengakui ku sebagai ibumu.”
“Nanti Mak, kalau sudah beli baju baru!”
Sang ibu tak bisa menahan diri lagi. Ia tak mau berdebat lagi dengan anaknya ia berdo’a kepada tuhan.
“Ya, Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, Tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah dia …… “
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.
“Oh, Ibu. Ibu. ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu ….. ibu …… ampunilah anakmu ….. “ Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut “Batu Menangis”.
Demikianlah cerita yang berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercayai bahwa kisah itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Komentar
Posting Komentar